Refleksi 2024, Tata Kelola Ijin Perumahan, Ruang Terbuka Hijau, Pengembang Dan Perbankan Kota Sukabumi 

banner 468x60

SUKABUMI|Tintamerahnews.com – Pada tahun 2024, permasalahan tata ruang di Subangjaya, Kota Sukabumi, semakin mengundang perhatian. Masyarakat kini tengah mengkritisi praktik-praktik kongkalikong antara pengembang, pemerintah daerah, dan perbankan yang telah mengorbankan tata ruang yang seharusnya mengedepankan kesejahteraan warga dan keberlanjutan lingkungan. Penyimpangan izin perumahan, pengabaian ruang terbuka hijau (RTH), serta pelanggaran garis sempadan sungai (GSS) mengancam kualitas hidup penduduk kota ini. Sebuah refleksi mendalam terhadap permasalahan ini sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang ada dapat dijalankan dengan konsisten dan adil.

Salah satu aktifis Kota Sukabumi Arnold mengatakan salah satunya .Penyimpangan Izin Perumahan: Mengorbankan Rencana Tata Ruang untuk Kepentingan Ekonom “Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 1 Tahun 2022 tentang RTRW Kota Sukabumi, seharusnya seluruh pembangunan mengikuti rencana tata ruang wilayah yang jelas, dengan penyesuaian antara kebutuhan hunian dan lingkungan. Namun kenyataannya, pengembang di Subangjaya sering kali mendapatkan izin pembangunan di area yang tidak sesuai dengan peruntukan dalam RTRW. Praktik kolusi antara pengembang dan pejabat pemerintah daerah menjadi salah satu penyebab utama penyimpangan ini, yang berujung pada pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan tata ruang. Selain itu, ketentuan mengenai kewajiban menyediakan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sering kali diabaikan. Dalam banyak kasus, pengembang lebih memilih membayar denda dari pada memenuhi kewajiban ini, yang semakin memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di kota tersebut” kata Arnold kamis (26/12/2024)

banner 336x280

Masih menurut dia, Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau: Mengorbankan Keberlanjutan untuk Keuntungan Singkat

“Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Subangjaya, yang seharusnya menjadi komponen vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan, sering kali dikorbankan demi kepentingan komersial. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengharuskan setiap kota di Indonesia untuk mengalokasikan minimal 30% dari total luas wilayahnya untuk RTH, dengan proporsi 20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Namun, di Subangjaya, banyak lahan yang seharusnya menjadi ruang hijau dialihkan menjadi kawasan perumahan atau komersial. Hal ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengurangi ruang publik yang berfungsi sebagai area rekreasi dan mitigasi bencana. Pengawasan yang lemah dari pemerintah daerah, ditambah dengan kemungkinan adanya suap dalam proses perizinan, memperburuk kondisi ini, sehingga masyarakat kehilangan akses terhadap ruang terbuka yang sehat dan nyaman” ujarnya

Pelanggaran Garis Sempadan Sungai: Ancaman Bencana yang Dibiarkan Lanjut dia, “Garis Sempadan Sungai (GSS) bertujuan untuk melindungi ekosistem sungai dan mencegah bencana, seperti banjir dan erosi. Namun, di Subangjaya, beberapa proyek perumahan melanggar ketentuan GSS dengan mendirikan bangunan di kawasan yang seharusnya bebas dari pembangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai mengatur dengan jelas bahwa pembangunan di GSS dilarang keras. Namun, penegakan hukum yang lemah dan kurangnya pengawasan oleh pemerintah daerah telah menyebabkan pelanggaran ini terus terjadi. Pembangunan yang melanggar GSS tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko bencana alam yang akan merugikan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah seharusnya lebih tegas dalam menegakkan aturan dan melindungi kawasan GSS dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab” cetusnya

Peran Perbankan: Pembiayaan yang Mengabaikan Regulasi , “Arnold menyebutkan, Perbankan seharusnya bertindak sebagai filter untuk memastikan bahwa proyek pembangunan yang mereka biayai mematuhi semua regulasi tata ruang dan lingkungan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengharuskan lembaga keuangan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, termasuk memeriksa kepatuhan proyek terhadap tata ruang. Namun, beberapa bank diketahui memberikan pembiayaan tanpa melakukan due diligence yang memadai terhadap kepatuhan proyek terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini berpotensi memfasilitasi pelanggaran lebih lanjut oleh pengembang, yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Pengawasan terhadap pembiayaan perbankan perlu ditingkatkan agar lebih transparan dan akuntabel, sehingga pengembang tidak bisa melanjutkan proyek yang melanggar tata ruang dan peraturan lingkungan” sebutnya

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *