Oleh: Wilson Lalengke
Ketika rakyat kehabisan mantra suci,
Tuturan iblislah yang tersisa…
Ketika diksi ‘celana dalam polisi dibeli dari uang rakyat’ tak bermakna apa-apa,
Itu pertanda kita sedang diperhamba para bajingan…!!
Jakarta – Jika ditanyakan kepada 5,3 juta nasabah perusahaan asuransi milik negara, PT. Asuransi Jiwasraya, yang dananya raib 23 triliun lebih, nyaris dipastikan mereka akan memberi jawaban dan komentar yang sama dengan RG alias Rocky Gerung: kita punya pemimpin negeri yang ‘bajingan tolol’. Pada banyak kesempatan, kita sering juga mendengar frasa serumpun dengan itu, seperti bajingan tengik dan bajingan biadab, yang diucapkan orang saat di puncak kekesalan terhadap orang lain.
Tidak semua pakar bahasa sepakat, namun kata bajingan diyakini berasal dari kata ‘bajing’ atau –walau tidak sama– tupai, sejenis binatang pengerat buah, yang demikian lincah loncat sana loncat sini di antara pepohonan. Bajing dan tupai ini kerap dianggap musuh besar petani, karena merupakan hama yang sangat mengganggu keberhasilan usaha pertanian, terutama petani buah. Bajing kerap kali mencuri buah-buahan dari kebun para petani.
Seiring waktu, nama jenis binatang bajing yang dikata-sifatkan menjadi ‘bajingan’ itu dilekatkan pada orang-orang yang suka mencuri, mengambil barang milik orang lain tanpa permisi, tanpa izin. Kata itupun merambah ke orang-orang yang sering mengambil barang dari kendaraan truk yang lalu-lalang di sepanjang jalan Anyer – Panarukan. Kemampuan para pencuri barang di kendaraan truk yang sedang berlari kencang dengan berloncatan antar truk memunculkan frasa unik ‘bajing loncat’, persis seperti tupai yang lincah berloncatan kesana-kemari.
Kembali ke topik ucapan ‘bajingan tolol’ RG. Perkataan yang keluar dari mulut RG itu pada hakekatnya merupakan representase perasaan publik yang terabaikan, termarginalkan, tak sanggup terucapkan karena ketakutan luar biasa, yang tidak seorangpun berani mengucapkannya terhadap seseorang yang sedang berkuasa, kecuali oleh orang gila seperti RG.
Saat saya mengucapkan “celana dalam istri-istri polisi dibelikan oleh rakyat” yang kemudian menjadi pemicu kemarahan para polisi, bukankah ucapan itu adalah puncak-puncak kekecewaan masyarakat luas dan kawan-kawan media se-Indonesia yang terzolimi oleh kinerja polisi yang tidak beres di negeri ini? Diksi yang secara leksikal –denotatif dan konotatif– bermaksud mengingatkan mereka yang mengaku sebagai bhayangkara negara agar memahami benar bahwa Anda itu hakekatnya adalah pelayan rakyat alias babunya rakyat. Lah, wong celana dalam istrimu saja rakyat yang belikan rek!
Mirisnya, akibat ketololan akut tidak mampu menjawab pernyataan dengan argumen yang argumentatif, oknum Kapolres Lampung Timur, Zaki Alkazar Nasution, bersama gerombolannya merespon kalimat saya melalui cara yang brutal terkesan beradab. Dengan kewenangan hukum di tangannya, kelompok bajingan tolol itu menggunakan kewenangannya secara sewenang-wenang. Dengan bantuan sesama bajingan tolonya di kejaksaan dan pengadilan, mereka berhasil gemilang memenjarakan saya.
Apakah saya sedih, kapok, takut? No way! Saya justru menikmatinya sebagai sebuah karunia dari pemilik alam, yang senantiasa setia menyediakan ruang belajar penuh hikmat bagi setiap orang yang dipilih-Nya. Pentas perjuangan bagi keadilan dan kemanusiaan itu seperti ucapan Minke “Kita kalah, Ma,” yang dijawab Nyai Ontosoroh “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. (Pramoedya Ananta Toer, 1925-2006)
Menyambung Pram, seorang filsuf Yahudi kelahiran Rumania, Eliezer Wiesel, menegaskan bahwa tidak ada tempat untuk gagal menyampaikan protes atas ketidak-adilan yang terpampang di depan mata kita. “There may be times when we are powerless to prevent injustice, but there must never be a time when we fail to protest.” – Elie Wiesel (1928-2016).
Orang-orang semacam RG diperlukan oleh masyarakatnya, di sepanjang jaman, di setiap ruang dan waktu. Dia tidak akan pernah punah, karena alam akan selalu menyediakan orang-orang seperti itu demi menjaga mahluk manusia yang hampir dipastikan berperilaku zalim saat memegang kendali atas orang lain.
Soekarno muncul sebagai RG-nya Pemerintah Kolonial Belanda, dia keluar-masuk penjara. Sejarah kemudian mencatat, si RG yang mantan napi kolonial ini menjadi The Founding Father Negara Republik Indonesia yang sebentar lagi akan memperingati HUT-nya yang ke 78 tahun. Sutan Syahrir, Buya Hamka, Natsir, dan puluhan lainnya dapat giliran menjadi RG terhadap Pemerintahan Soekarno pasca bangsa ini merdeka. Tidak tanggung-tanggung, ada Mr. Mohamad Roem dan Sultan Hamid II, dua tokoh penting di masa itu masuk kelompok RG dan diasingkan, dipenjarakan.
Dalam perspektif serupa, sesungguhnya Megawati merupakan RG terhadap Pemerintahan Soeharto di masa orde lama. Bersama Mega, juga ada Abdulrahman Wahid dan Rizal Ramli, serta sederetan anak-anak bangsa yang menjadi penyambung lidah rakyat di jalanan kala itu. Sepak terjang mereka selalu dikuntit para londo-irengnya penguasa. Ujaran-ujaran miring mereka terancam dipidanakan di mana-mana, bahkan tidak sedikit yang dijemput penguasa untuk tidak kembali lagi. Media yang berani menyiarkan suara sumbang para RG versi orba dibredel tanpa ampun.
Tidak pada sikap membela Rocky Gerung dan orang-orang vokal sejenisnya, juga tidak bermaksud mempengaruhi proses hukum atas masalah ini, namun hal yang semestinya dilakukan adalah kata dibalas kata, ucapan dibalas ucapan, tulisan dibalas tulisan, bahkan makian dibalas makian. Jangan sekali-kali pakai jubah hukum dan kekuasaan dengan sembarangan, atau kekerasan fisik dan anarkisme gerombolan massa tolol, untuk membungkam siapapun. Setiap lengkingan pasti punya alasan sebagaimana prinsip hukum kausalitas untuk bisa membuncah ke langit. Demikianlah juga frasa ‘bajingan tolol’ itu akhirnya meledak di cakrawala.
Jika manusia diberi otak, itu artinya dia diberi alat untuk menyelesaikan setiap persoalan menggunakan otaknya, yang terartikulasi melalui argumen versus kontra-argumen yang sehat. Jika tidak memiliki otak, itu lain soal. Terima kasih.
_*) Penulis adalah Pendiri dan Presiden PERMATA Indonesia_