Sesampainya di tempat yang dianggap sepi dan jauh dari pandangan orang-orang, peristiwa mengenaskan itupun terjadi.
Bersama Rhidel Septian Latumahina alias Kidek, Antonio Junior Pondaag alias Tio sukses melampiaskan dendamnya terhadap temannya sendiri, Matthew Paneleweng.
Tidak hanya dianiaya secara bersama-sama, ternyata sebuah pisau tertancap di dada samping kiri dekat ketiak Matthew.
Berdasarkan hasil atopsi jenazah korban, tusukan benda tajam sedalam 20 centimeter dikuti pendarahan hebat itu diduga kuat sebagai penyebab kematian Matthew.
Tio dan Kidek kini meringkuk di tahanan dan sedang menjalani persidangan sebagai terdakwa kasus pembunuhan berencana.
Jaksa Penuntut Umum atas kasus tersebut mendakwa mereka dengan dakwaan berlapis.
JPU menerapkan pasal Kesatu Primair Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Subsidair Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau Kedua Primair Pasal 170 ayat (2) ke-3 KUHP, Subsidair Pasal 351 ayat (3) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Untuk mengantisipasi berkembangnya ‘virus pembunuhan berencana’ di kalangan anak dan remaja, Wilson Lalengke menegaskan pentingnya mendorong adanya kesadaran untuk memberlakukan pendidikan moral yang ketat di dalam keluarga-keluarga Indonesia.
Pola pengasuhan dan pendidikan nilai-nilai moral kepada anak di rumah tangga dapat mengadopsi sistem pendidikan moral yang diterapkan di negara-negara yang dikenal memiliki tata cara hidup bermasyarakat yang baik dan menghargai kemanusiaan.
Ia mencontohkan perilaku anak anak usia dini di Jepang yang pantas ditiru. Kala itu ia ke Jepang di tahun 2000 dalam program Persahabatan Pemuda Indonesia Jepang.
Di sana dirinya mengaku sangat terkagum-kagum melihat anak-anak usia 3-4 tahun yang mampu mengelola dirinya sendiri, tanpa banyak disuruh ini-itu, diperintah terlebih dahulu baru berperilaku sesuai tata cara hidup yang dikehendaki anggota keluarganya.
“Saat itu saya menjalani program homestay di salah satu keluarga Jepang selama 3 hari. Saya lihat anak-anaknya yang masih kecil-kecil sangat sopan, tertib, disiplin, dan bisa menjaga kebersihan,” ungkap lulusan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan Universitas Riau (FKIP UNRI) ini mengenang pengalamannya ke Jepang lebih 20 tahun lalu.
Jika kita lihat warga Jepang dimana-mana saja mereka berada, sambung Wilson Lalengke, sangat tertib, santun, ramah, suka membantu, tidak rebutan saat antri, saling memotivasi, dan ketat dalam hal menjaga kebersihan, hal-hal itu di-didik-kan kepada mereka semenjak di rumah.
“Pendidikan ahlak dan moralitas itu dilakukan di rumah tangga oleh orang tuanya, bukan hanya oleh guru di sekolah atau masyarakat di luar rumah. Justru sekolah dan masyarakat adalah tempat menerapkan nilai moral yang didapatkan dari rumah. Mereka akan dinilai oleh orang-orang sekitarnya di luar rumah. Jadi, keluarga akan mendapat malu jika anaknya mendapat penilain buruk dari sisi perilaku si anak di sekolah maupun di masyarakat,” beber pria yang menyelesaikan studi pasca sarjana bidang Global Ethics di Birmingham University, England, itu.
Lebih lanjut Wilson Lalengke mengungkapkan bahwa pendidikan di Swedia justru dimulai sejak seseorang masih di dalam kandungan.
Saat dia kuliah pasca sarjana bidang studi Applied Ethics di Linkoping University, Swedia, satu waktu Wilson Lalengke bersama rombongan satu kelasnya dibawa ke Stockholm (ibukota Kerajaan Swedia – red) untuk beraudiensi dengan Parlemen Swedia.
Kepada para mahasiswa tersebut, Ketua Parlemen negara penghasil pesawat tempur F-16 itu menjelaskan panjang lebar segala sesuatu tentang pengelolaan anggaran belanja negaranya.
Berdasarkan penjelasan Parlemen Swedia itu diketahui bahwa negeri Skandinavia tersebut menghabiskan lebih dari 50 persen APBN-nya hanya untuk membiayai program pendidikan warganya.
Waktu itu, pendidikan gratis diterapkan kepada semua warga hingga di jenjang pasca sarjana. Untuk mereka yang mengambil program doktor, disediakan juga biaya pendidikan oleh negara dalam bentuk proyek penelitian. Jadi hampir seluruh lulusan doktoral di Swedia diselesaikan melalui jalur penelitian, bukan klasikal seperti di Indonesia.
“Tapi yang lebih menarik adalah keterangan pimpinan sidang yang menjelaskan bahwa pendidikan dimulai sejak anak masih di dalam kandungan ibunya. Bahkan lebih awal lagi, saat kedua pasangan merencanakan untuk mempunyai anak. Calon ibu si jabang bayi di-diklat dengan program tertentu agar dapat mengasuh anaknya dengan baik. Si calon ibu disediakan buku bacaan di perpustakaan dan mendengarkan musik, ceramah-ceramah, dan informasi yang penting bagi si anak yang masih di dalam perut ibunya. Anak dididik sejak dari dalam kandungan oleh keluarga serta didukung oleh pemerintah dan masyarakatnya,” terang pendiri SMAN Plus Provinsi Riau dan SMK Kansai Pekanbaru itu.
Kapan proses pendidikan berakhir? “Kalau di Swedia, kata Ketua DPR-nya waktu itu, biaya pendidikan juga dianggarkan untuk mendidik para lansia dengan materi khusus cara menjalani masa tua dan mengakhiri hidup dengan baik, tenang dan nyaman,” pungkas Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) ini menghakhiri keterangannya. (APL/Red)