Refleksi 2024, Tata Kelola Ijin Perumahan, Ruang Terbuka Hijau, Pengembang Dan Perbankan Kota Sukabumi 

SUKABUMI|Tintamerahnews.com – Pada tahun 2024, permasalahan tata ruang di Subangjaya, Kota Sukabumi, semakin mengundang perhatian. Masyarakat kini tengah mengkritisi praktik-praktik kongkalikong antara pengembang, pemerintah daerah, dan perbankan yang telah mengorbankan tata ruang yang seharusnya mengedepankan kesejahteraan warga dan keberlanjutan lingkungan. Penyimpangan izin perumahan, pengabaian ruang terbuka hijau (RTH), serta pelanggaran garis sempadan sungai (GSS) mengancam kualitas hidup penduduk kota ini. Sebuah refleksi mendalam terhadap permasalahan ini sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang ada dapat dijalankan dengan konsisten dan adil.

Salah satu aktifis Kota Sukabumi Arnold mengatakan salah satunya .Penyimpangan Izin Perumahan: Mengorbankan Rencana Tata Ruang untuk Kepentingan Ekonom “Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 1 Tahun 2022 tentang RTRW Kota Sukabumi, seharusnya seluruh pembangunan mengikuti rencana tata ruang wilayah yang jelas, dengan penyesuaian antara kebutuhan hunian dan lingkungan. Namun kenyataannya, pengembang di Subangjaya sering kali mendapatkan izin pembangunan di area yang tidak sesuai dengan peruntukan dalam RTRW. Praktik kolusi antara pengembang dan pejabat pemerintah daerah menjadi salah satu penyebab utama penyimpangan ini, yang berujung pada pembangunan perumahan yang tidak sesuai dengan tata ruang. Selain itu, ketentuan mengenai kewajiban menyediakan hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sering kali diabaikan. Dalam banyak kasus, pengembang lebih memilih membayar denda dari pada memenuhi kewajiban ini, yang semakin memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi di kota tersebut” kata Arnold kamis (26/12/2024)

Masih menurut dia, Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau: Mengorbankan Keberlanjutan untuk Keuntungan Singkat

“Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Subangjaya, yang seharusnya menjadi komponen vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan, sering kali dikorbankan demi kepentingan komersial. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengharuskan setiap kota di Indonesia untuk mengalokasikan minimal 30% dari total luas wilayahnya untuk RTH, dengan proporsi 20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Namun, di Subangjaya, banyak lahan yang seharusnya menjadi ruang hijau dialihkan menjadi kawasan perumahan atau komersial. Hal ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengurangi ruang publik yang berfungsi sebagai area rekreasi dan mitigasi bencana. Pengawasan yang lemah dari pemerintah daerah, ditambah dengan kemungkinan adanya suap dalam proses perizinan, memperburuk kondisi ini, sehingga masyarakat kehilangan akses terhadap ruang terbuka yang sehat dan nyaman” ujarnya

Pelanggaran Garis Sempadan Sungai: Ancaman Bencana yang Dibiarkan Lanjut dia, “Garis Sempadan Sungai (GSS) bertujuan untuk melindungi ekosistem sungai dan mencegah bencana, seperti banjir dan erosi. Namun, di Subangjaya, beberapa proyek perumahan melanggar ketentuan GSS dengan mendirikan bangunan di kawasan yang seharusnya bebas dari pembangunan. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai mengatur dengan jelas bahwa pembangunan di GSS dilarang keras. Namun, penegakan hukum yang lemah dan kurangnya pengawasan oleh pemerintah daerah telah menyebabkan pelanggaran ini terus terjadi. Pembangunan yang melanggar GSS tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga meningkatkan risiko bencana alam yang akan merugikan masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah daerah seharusnya lebih tegas dalam menegakkan aturan dan melindungi kawasan GSS dari eksploitasi yang tidak bertanggung jawab” cetusnya

Peran Perbankan: Pembiayaan yang Mengabaikan Regulasi , “Arnold menyebutkan, Perbankan seharusnya bertindak sebagai filter untuk memastikan bahwa proyek pembangunan yang mereka biayai mematuhi semua regulasi tata ruang dan lingkungan. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengharuskan lembaga keuangan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, termasuk memeriksa kepatuhan proyek terhadap tata ruang. Namun, beberapa bank diketahui memberikan pembiayaan tanpa melakukan due diligence yang memadai terhadap kepatuhan proyek terhadap peraturan yang berlaku. Hal ini berpotensi memfasilitasi pelanggaran lebih lanjut oleh pengembang, yang pada akhirnya merugikan masyarakat dan merusak lingkungan. Pengawasan terhadap pembiayaan perbankan perlu ditingkatkan agar lebih transparan dan akuntabel, sehingga pengembang tidak bisa melanjutkan proyek yang melanggar tata ruang dan peraturan lingkungan” sebutnya

Dampak Sosial dan Lingkungan: Ketimpangan yang Semakin Memburuk “Praktik kongkalikong dalam izin perumahan, pengabaian RTH, dan pelanggaran GSS menciptakan ketimpangan sosial yang semakin mendalam. Masyarakat kecil sering kali tergusur dari wilayah strategis, kehilangan akses ke fasilitas dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan transportasi umum. Mereka juga harus menanggung dampak lingkungan yang buruk, seperti banjir dan polusi, sementara keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir pihak yang terlibat dalam praktik-praktik tersebut. Ketimpangan ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah dan institusi keuangan, tetapi juga menciptakan rasa frustrasi dan ketidakpuasan di kalangan warga kota” tegasnya

Kritikan Terhadap Pemerintah Kota Sukabumi, Pengembang Dan Perbankan.

“Ketidak beresan dalam tata kelola perumahan dan pengelolaan ruang terbuka hijau di Subangjaya menyoroti masalah mendalam dalam sistem perizinan dan pengawasan yang ada. Regulasi yang sudah ada seharusnya memberikan kerangka yang jelas dan tegas, tetapi kenyataannya malah dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak. Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi pengawas utama, justru menunjukkan kelemahan dalam menjalankan tugasnya, terbukti dengan maraknya kolusi antara pengembang dan oknum pejabat” ucapnya

Selain itu sambung Arnold, peran perbankan yang seharusnya bertindak sebagai pengontrol finansial justru memperburuk keadaan dengan pembiayaan proyek yang tidak memenuhi standar tata ruang yang berlaku. Tidak adanya penegakan hukum yang tegas semakin memperburuk ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan. Masyarakat, yang menjadi pihak paling dirugikan, kehilangan akses terhadap hunian layak, ruang terbuka hijau, dan fasilitas dasar yang seharusnya menjadi hak mereka.

“Keberlanjutan kota seharusnya menjadi prioritas utama dalam setiap kebijakan pembangunan, namun di Subangjaya, kita justru menyaksikan kebijakan yang mengutamakan keuntungan sesaat tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat. Pemerintah dan pengembang harus lebih transparan dan akuntabel, serta bertanggung jawab terhadap segala keputusan yang diambil. Tanpa reformasi dalam pengelolaan tata ruang dan peningkatan pengawasan yang tegas, kualitas hidup masyarakat Kota Sukabumi akan terus terancam” pungkasnya

Reporter: Eka lesmana

Exit mobile version